Latest Movie :
Recent Movies

Kebisuan Pramoedya Menggapai Dunia

Pramoedya menggetarkan dunia melalui kata-kata. Meski ia terkurung di sebuah pulau terpencil, dari tangannya dan dari nuraninya telah mengalir kata-kata yang memiliki kekuatan yang menukik ke dalam kalbu. Ia menulis dengan bahasa yang sederhana, tanpa pretensi, tanpa pembaruan dalam khazanah kesusatraan Indonesia, tetapi ia menggunakan riset dan data sejarah yang luar biasa mengagumkan. Kekayaannya lebih terletak pada ide dan bukan pada simbol atau imaji. Dia menjadi legenda karena produktivitasnya dan juga karena kehidupannya selama 14 tahun di Pulau Buru.

Dan 14 tahun yang kelabu, yang disebutnya sebagai sebuah “nyanyi sunyi” itu, akhirnya menggapai sebuah warga New York yang memadati Gedung Asia Society, yang hening mendengarkan kesaksiannya, akhir April lalu.

Meski kakinya dilarang melangkah ke luar negeri ini sejak 1959—dan penerbangannya ke AS April lalu adalah pertama kalinya setelah pelarangan itu—kata-kata Pram telah mencapai para pembacanya di berbagai negara dalam berbagai bahasa. Melihat jumlah bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, tampaknya Pram adalah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang paling banyak diterjemahkan dan dikenal di dunia.

Di AS, seperti halnya di berbagai negara Barat lainnya, mereka mengenal Pram melalui The Fugitive (terjemahan Willem Samuels dari novel Perburuan); This Earth of Mankind (terjemahan Max Lane, dari novel Bumi Manusia); Footsteps (terjemahan Max Lane, dari novel Jejak Langkah), Child of all Nations, terjemahan Max Lane dari novel Anak Semua Bangsa); The Girl from the Coast (terjemahan Harry Aveling dari novel Gadis Pantai), sederetan kumpulan cerita pendek, serta yang baru saja diluncurkan April silam adalah The Mute’s Soliloquy, yang diterjemahkan dengan baik oleh Willem Samuels dari catatan Pulau Buru Pram yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Bisu bagi Pramoedya adalah sebuah “senjata” perlawanan, bukan tanda menyerah atau menyetujui. Seperti juga yang diutarakan penyair Goenawan Mohamad dalam pidato pengantarnya saat peluncuran buku itu di New York, kebisuan Pramoedya tidak sama dengan ketakfasihan. Kebisuannya adalah sebuah pernyataan tentang penolakan (penindasan).

Dalam “pernyataan menolak” itulah Pram berdiri sebagai dirinya sendiri, hingga tampaknya kejujuran dan ketelanjangan perasaannya mampu menggetarkan. Melalui terjemahan Willem Samuels yang bukan saja menyadur, tetapi sekaligus mengedit dan menyusun kembali catatan yang semula tak dimaksudkan untuk diterbitkan itu, The Mute’s Soliloquy menjadi sebuah saksi yang sangat lantang.

Dibuka dengan bab “Natant Ruminations” (“Permenungan dan Pengapungan”), sebuah surat untuk anaknya, Pujoresmi, Samuels menerjemahkan surat ayahanda kepada calon pengantin baru itu sekaligus mengirim sebuah keharuan yang menyentuh.

“This young woman is my first child. I love her…. I also ask you—no, I forbid you—to ever strike her or hurt her in any way. And because you have asked for my daughter’s hand in the propper manner. I also ask you that if something happens and you find that you no longer want to be with her, that you return her to me just as she is now, in good health, and that thereafter you never call me again.”

Pesan seorang ayah kepada calon menantu ini, yang pasti akan langsung dipahami warga berbahasa apa pun, adalah sebuah pembukaan yang menyentak sekaligus mengharukan. Pada teks asli, Pramoedya menulis: “… anak ini kau pinta padaku untuk diperistri secara baik-baik, kalau karena sesuatu hal kau tak menyukainya lagi, kembalikan pula dia secara baik-baik padaku.”

Apa yang dilakukan Samuels memang bukan sebuah penerjemahan harfiah; bukan penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemahan sebuah kebudayaan ke dalam bahasa yang berbeda dari kebudayaan itu. Tak aneh, pesan sang ayah yang mengharukan sekaligus tegas itu kemudian membutuhkan tambahan “… and thereafter you never call me again”, suatu penjelasan sikap seorang ayah (Indonesia) kelak jika putrinya tercinta disia-siakan oleh menantunya. Dan konsep ini tentu saja tak mudah dijelaskan di dalam teks kecuali dengan penerjemahan yang integratif seperti ini.

Penerjemahan yang harfiah, yang barangkali seolah lebih “tepat”, adalah sebuah penerjemahan yang kemudian meruntuhkan karya asli. Itulah yang terjadi dengan penerjemahan sajak Rendra oleh Harry Aveling belasan tahun silam. “… wahai dik Narti/kupinang kau menjadi istriku…” menjadi “Hei, little sister Narti/I want you for my wife.” Dialog Bawuk dengan suaminya, Hasan, dalam cerita pendek Umar Kayam, Bawuk, yang berbunyi “Saya siap, Mas” diterjemahkan Aveling menjadi “Yes, husband, I am ready.”

Untuk tidak mengindahkan kebudayaan Jawa yang terpancar dalam kedua karya itu, artinya sang penerjemah tak mengindahkan arti penerjemahan yang hakiki. Sebutan “dik” yang digunakan Rendra dalam puisi ini tentu saja adalah panggilan untuk seorang kekasih, bukan seorang saudara perempuan. Sedangkan panggilan “mas” rasanya lebih baik dibiarkan apa adanya dengan catatan kaki, daripada diterjemahkan sebagai “husband”. Penerjemahan harfiah seperti ini akhirnya meruntuhkan nuansa estetika karya itu, dan syukurlah pada karya Pram keteledoran semacam ini tak terjadi.

Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu pada dasarnya adalah kumpulan surat Pram kepada anak-anaknya—saat itu tak diketahui apakah akan tiba di tangan yang dituju atau tidak—yang tercecer di beberapa pihak. Adalah Samuels yang rajin berkunjung ke beberapa pihak yang memegang bahan-bahan tersebut—hingga ke negeri Belanda—dan menyusun serta menyunting berbagai surat ini agar tak terjadi pengulangan yang tak perlu untuk pembaca non-Indonesia. Penyuntingan juga terjadi pada beberapa bagian yang dianggap tak relevan bagi pembaca Barat, misalnya, “Nama-nama jenderal yang detail tidak perlu disebut,” tutur Samuels. Samuels mengaku sekitar 30 persen dari karya asli—misalnya bagian yang sangat detail tentang sejarah Indonesia—dibuangnya.

Tentu saja penyuntingan dan penerjemahan ini dilakukan atas kerja sama yang erat dengan penulisnya sendiri. Samuels mengaku mulai menerjemahkan dan mengumpulkan bahan selama hampir 10 tahun atas inisatif sendiri, sementara Pram baru mulai bergabung dua tahun terakhir.

Pada bagian lain, Pram berdiri dengan “telanjang” tentang kehidupan pribadinya. Pada bab “For Better or For Worse”, sepucuk surat untuk putrinya Anggraini adalah sebuah surat seorang ayah yang jujur kepada perasaan cinta. Seorang anak yang mempertanyakan hubungan ayah dan ibunya, yang kemudian bercerai, dan mempertanyakan adakah Maemunah Thamrin, istri Pram kini, yang telah menyebabkan itu semua.

Ini sebuah kisah yang pribadi. Tetapi Pram merasa wajib menceritakan dari sisinya karena pada akhinya sang putri, yang saat itu telah memasuki usia dewasa, rusuh oleh desas-desus keji seputar kehidupan perkawinan orang tuanya. “The simple truth is your mama was never completely happy, never completely satisfied with me. The same thing can be said for me…,” tuturnya ketika ia mulai membuka sebuah babak yang kelabu dalam kehidupan masa lalu pernikahannya yang pertama. Seluruh kisah itu mungkin bagai drama televisi biasa. Istri yang tak bahagia, suami yang rendah diri, dan jalan mencari kehidupan dan kebahagiaan.

“How could this happen? My father was a failure in those respect, and now my own wife thought the same of me. Also in my mind was the thought that a marital crisis is never just one person’s problem. At the very least it concerns two people….”

Pada bagian ini, Samuels bukan hanya menjadi jembatan bagi hati Pram yang tengah berbicara dalam bisu, tetapi The Mute’s Soliloquy kemudian seperti menjadi satu karya lain—dari Nyanyi Sunyi…—karena pengungkapan Pram dalam bahasa Inggris (atau tepatnya dalam kosakata Samuels) menjadi sebuah karya yang lebih rapi dan komprehensif. Samuels mengaku menyusun draft empat kali karena banyak pemikiran Pram yang meloncat-loncat yang harus disunting. Dan kerja keras selama 10 tahun menerjemahkan, menyunting, memotong, merapikan itu berbuah sebuah buku hard cover dengan desain yang bagus berjudul The Mute’s Soliloquy, yang kini terpajang di toko-toko buku AS.

Melalui catatan yang mencapai pojok dunia itu, “kebisuan” Pram sudah sirna.

Penulis Resensi: Leila S. Chudori, Dewi Rina Cahyani
Judul: Nyanyi sunyi seorang bisu
Penulis: Toer, Pramoedya Ananta
Subyek: Biografi
Penerbit : Lentera, 1997;
Tebal: 295

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/05/04/LYR/mbm.19990504.LYR94856.id.html

Download
{[['']]}

Tan Malaka: Bapak Republik Yang Dilupakan

Ibrahim Datuk Tan Malaka ialah Bapak Bangsa yang memberikan konsep "Republik Indonesia" bagi Hindia-Belanda yang bakal merdeka. Namun, serdadu dari negeri yang ia bela pulalah yang membunuhnya di Selopanggung, Jawa Timur.

Buku ini berisi reportase Majalah Mingguan TEMPO mengenai Tan Malaka dari berbagai sisi, mulai pemikiran, petualangan ke berbagai negara, sampai asmara yang bertepuk-sebelah tangan.

Seri TEMPO Bapak Bangsa ini merupakan bagian seri-seri reportase TEMPO lain mengenai para pendiri Republik Indonesia.
{[['']]}

Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara

Bertahun-tahun orang mengenalnya sebagai "si jahat". Lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok. Dialah Dipa Nusantara Aidit yang dikenal melalui film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Di layar perak kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat, dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan massal 1965.

Siapakah Aidit? Memimpin PKI pada usia 31, ia hanya perlu setahun untuk melambungkan partai itu dalam kategori partai besar di Indonesia pada Pemilu 1955. PKI mengklaim memiliki 3,5 juta pendukung dan menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah partai Komunis di Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Aidit memimpikan Indonesia tanpa kelas, tapi ia terempas dalam prahara 1965. Setelah itu, seperti juga Peristiwa G30S, ia jadi mitos. Ia dibenci namun diam-diam dipelajari kembali.
{[['']]}

Aksara yang Merangkum Rindu

Dengan judul "Lontara Rindu", tanpa perlu terlebih dahulu mengerti arti "lontara", kita sebagai pembaca pasti menebak novel ini bernafas rindu. Dalam hari-hari Vito, nafas rindu itu bergemuruh. Nafas rindu untuk ayah dan saudara kembarnya. Bila lema rindu dalam judul mengisyaratkan gemuruh rindu Vito, lantas lema lontara mengisyaratkan apa?

Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis. Aksara tersebut ditulis di daun lontar dengan lidi atau batang ijuk lalu digosok dengan arang hingga berbekas. Pun lontara diartikan sebagai kitab oleh penganut Talotang. Maka lontara rindu bila dikaitkan dengan cerita Vito dalam novel ini adalah aksara yang merangkum kerinduan. Selebihnya, lontara merangkum cerita rakyat dahulu yang sarat moral dalam pengaplikasiannya. Dalam novel ini kita akan menikmati keduanya, baik itu aksara yang merangkum rindu maupun aksara yang merangkum cerita rakyat dan apa-apa yang terasa sakral bagi masyarakat Bugis dahulu –hingga kini.

Enam tahun berlalu sejak kepergian ayah dan saudara kembarnya, Vito menanggung rindu. Enam tahun berlalu dan kini rindu itu memilu. Rindu yang berproses seiring dengan masa pubertasnya sebagai remaja belia, menempa kedewasaan bagi emosinya. Perlahan, takdir Allah menggerakkannya untuk melabuhkan rindu itu segera, dan nanti rindu itu bermuara di Samarinda.

Dengan gaya penceritaan maju-mundur, dalam kisah kerinduan Vito terselip kisah kedua orangtuanya –Ilham dan Halimah. Gejolak dalam cerita asmara mereka yang ternyata terbentur pada perbedaan. Beberapa fragmen dalam kisah mereka menampilkan saratnya tradisi masyarakat Bugis pada umumnya. Di antaranya adat berkaitan momentum pernikahan masyarakat Bugis. Belum lagi tentang Talotang, sebuah aliran kepercayaan yang muasalnya diceritakan penulis dalam prolog novel ini. Kisah tentang Talotang ini masih dalam orbit cerita yang melibatkan Vito, ayahnya, dan kembarannya.

Mengambil porsi yang tak kalah besar dari kisah kerinduan Vito dan kisah kedua orangtuanya, adalah kisah sembilan anak usia remaja belia yang menjadi penghuni sebuah SMP baru di Panca Lautang. Tujuh murid laki-laki dan dua murid perempuan. Dibersamai pertumbuhannya dengan pak Amin, seorang guru penjas yang menjelma menjadi guru kehidupan yang menempa kedewasaan mereka dengan pelajaran dari lontara kisah terdahulu.


“..takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur.” –Nenek Mallomo

Satu dua kebersamaan Pak Amin dan murid-muridnya adalah tentang kebesaran Nenek Mallomo, seorang cendekiawan Muslim Bugis. Didongengkannya kisah Nenek Mallomo oleh Pak Amin kepada murid-muridnya bukan tanpa sebab. Kemarau yang dulu pernah terjadi saat nenek Mallomo masih hidup, terulang kembali. Pak Amin menggiring muridnya untuk mampu membaca kearifan alam yang erat kaitannya dengan perilaku manusia. Tak hanya perilaku manusia yang merusak, tapi masalah moral. Dulu, sumber kemarau adalah ketidakjujuran salah seorang masyarakat. Kini, beratus tahun berselang dan kemarau panjang kembali menyerang, adakah penyebabnya maksiat?

Kadang kita terlalu sombong untuk mengiyakan bahwa maksiat personal (maupun masif) bisa menjadi penyebab suatu bencana. Kita lebih memilih mengiyakan human error tapi jarang sekali yang mau mengakui bahwa musibah tersebut bisa jadi adalah buah maksiat kita. Padahal, bila kita beriman, kaitan moral dengan musibah bisa erat hubungannya. Bukankah Allah telah menunjukkannya melalui kisah Nabi Nuh? Inilah yang mungkin juga hendak disampaikan penulis.

"Bumi semakin renta, azab pun semakin beragam. Tapi, tak semua orang bisa membacanya. Haruskah badai Nuh datang lagi? Karena, zaman telah mengukir tuhan yang lebih banyak dibandingkan zaman Nabi Nuh. Bedanya, tuhan-tuhan zaman kini tak bernama seperti Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr yang populer sebagai tuhan di zaman Nuh." –halaman 167


Kembali kepada kisah Pak Amin dan laskarnya, sembilan remaja belia itu memahami pesan-pesan yang disampaikan Pak Amin tetapi salah gerak dalam mengeksekusi. Sehingga timbulah konflik lain yang menyeret Pak Amin. Sosok Pak Amin, dari bagian tengah novel hingga bagian akhir, adalah tokoh yang banyak diceritakan. Irisan lain dari novel ini yang tentunya tak bisa ditinggalkan kisahnya.

Dengan begitu lancar, penulis menghidupkan lingkungan masyarakat Bugis. Menyisipkan penggambaran ritual hari raya Talotang yang digelar di Perrinyameng tiap Januari dan menjadi tujuan wisata setempat. Pun seluk beluk Sidenreng Rappang terhampar seolah nyata, begitu familiar karena ternyata penulis sendiri besar di sana.

Sebagai penulis yang sebelumnya telah banyak melahirkan karya, teknis penceritaan tidak perlu dipertanyakan. Bila bagusnya sebuah novel adalah keberhasilan novel tersebut mengalir dalam benak pembaca selama membacanya, maka novel ini termasuk bagus dan patut dibaca. Apalagi berserak hikmah dari orisinalitas nilai yang diajarkan melalui hikayat rakyat zaman dahulu. Lagi, buku ini masuk ke dalam daftar novel yang mengangkat unsur lokalitas semacam tetralogi Laskar Pelangi, Lampuki atau Tanah Tabu yang mulai banyak diminati.

Sayangnya, setidaknya dua hal yang sedikit mengganggu saya selama membaca novel ini. Pertama, inkonsistensi penulis dalam penggunaan "saya" sebagai kata ganti. Seperti:

“Saya benar-benar heran. Mengapa tak satu pun orang termasuk mamaku, yang mau memberiku kejelasan tentang ayahku,” –Vito.

“Saya tak menemukan Vino saat bertemu ayahmu karena saya bertemu di kantornya. Dulu saya punya nomor hape-nya, tapi hape-ku pernah tercecer dan kehilangan semua nomor di dalamnya.” –Pak Saleng.

”Saya sering mengajak bayanganku bercerita saat bercermin, karena menurut mamaku kemarin dan dari foto yang pernah kulihat, saya dan Vino hampir pasti tidak bisa dibedakan hanya dengan melihat sekilas.” –Vino.

Cukup sering saya menemukan inkonsistensi semacam itu (di tokoh-tokoh berbeda). Tapi keberatan ini, mungkin memang bersifat personal dan selera.

Kedua, pilihan penulis menghadirkan banyak tokoh menjadi nilai tambah sekaligus kerawanan tersendiri. Nah, kerawanan ini terbukti karena beberapa tokoh yang mungkin dimaksudkan penulis sebagai tokoh pembantu, peranannya kurang melengkapi. Seperti tokoh Bu Maulindah yang menjadi pembuka novel ini tapi akhirnya eksekusi menghilangnya tokoh ini dari alur cerita terasa kurang apik. Pun ketika menaikkan cerita tentang Arif. Penceritaannya beranjak, dan mulanya saya pikir Arif pun mendapat porsi sedikit lebih daripada tujuh anak lainnya, tapi ternyata tidak. Dalam hal ini, klimaks kehadiran cerita tentang Arif terasa tanggung.

Dari cerita dan kefasihan penulis mengangkat kebudayaan daerah asalnya sendiri, novel ini tersaji dengan begitu baik. Menjadi bacaan yang bisa diseriusi siratan reflektifnya yang mengajak berkaca atas hubungan kita dengan alam dan pencipta semesta. Bisa pula menjadi bacaan yang dinikmati kejenakaannya melalui polah sembilan remaja belia yang diwakili oleh karakter Vito yang aktif. Bahkan menjadi bacaan yang sarat wawasan, bagi pembaca yang kerap meminta "kekayaan" dari buku yang dibacanya.
Selamat membaca.

Judul Buku: Lontara Rindu
Peresensi: Fauziyyah Arimi
Penulis: S Gegge Mappangewa
Penyunting: Priyantono Oemar dan
Penerbit: Republika
Cetakan: I, April 2012
Tebal: viiii + 342 halaman

Fauziyyah Arimi
Kemang Timur XV No.6 RT.010/03 Kel.Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Facebook: Fauziyyah Arimi รข”‚ Twitter: @faraziyya
{[['']]}

Mahameru, Menyusur Jejak Sahabat

“Di gunung, kamu akan melihat setiap orang dalam wujud aslinya. Karakter orang akan tampak jelas dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan dan keegoisannya. Kuat atau tidaknya dia, mandiri atau manjanya, rewel atau tegarnya. Semua akan tampak di gunung. Silahkan kalau tidak mau memercayai mitos, tapi jangan mencelanya. Kita dilarang bersikap sombong dan egois selama pendakian, karena alam tidak pernah main-main. Karena itu yang terpenting adalah kita harus selalu mengingat Tuhan.”

Indonesia kaya akan ragam budaya, tradisi dan keindahan alam yang mempesona. Kita patut berbangga akan hal itu. Dan membaca Tahta Mahameru, akan semakin menambah rasa kebanggaan itu. Ada begitu banyak nilai kearifan lokal yang coba diusung pengarangnya.

Adalah Raja Ikhsan, cowok dengan kepribadian yang sulit ditebak. Ia egois, angkuh, penyendiri dan broken home. Ia mendaki Mahameru sebagai pelarian atas kemelut keluarganya. Di Ranu Pane (desa tertinggi di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger, yang merupakan titik akhir perjalanan sebelum mulai pendakian ke Gunung Semeru), ia bertemu dengan Faras, seorang gadis desa yang sederhana, penyabar, kutu buku dan pecinta Kahlil Gibran. Tiga tahun berturut-turut, tiga kali mendaki, tiga kali pula mereka bertemu.

Persahabatan kilat itu menyisakan tanya yang tak terjawab. Ketika Ikhsan tiba-tiba menghilang, Faras mencoba menyusur jejaknya dengan berbekal foto dan tulisan-tulisan pendek yang dikirimkan Ikhsan ke emailnya.

Faras pun akhirnya bersolo-trip, berharap bertemu dengan Ikhsan di Borobudur. Tapi takdir tidak mempertemukannya dengan Ikhsan. Ia malah bertemu dengan Mareta, seseorang yang tersangkut kemelut dendam keluarga Ikhsan. Dan kebetulan selanjutnya, mereka menjadi teman seperjalanan ke Makassar.

Siapakah sebenarnya Mareta? Apakah Faras bertemu dengan Ikhsan di Makassar untuk sekadar menyampaikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya dahulu, terutama tentang Mahameru dan dendam yang menyala? Kemanakah Ikhsan, kenapa email-emailnya selama ini tidak bisa menghadirkan komunikasi dua arah di antara mereka? Lalu, kebetulan apalagi yang terjadi di Makassar, yang menjadi titik pengurai benang kusut dari kisah ini?

Speechless! Itu kesan saya ketika sampai ke lembar akhir novel ini. Bahasanya yang renyah membuat saya tidak bisa berhenti membacanya. Alur yang dihadirkan bergerak maju-mundur membuat saya penasaran untuk segera menyelesaikannya. Sudut pandang orang pertama yang digunakan secara berganti-ganti antara Ikhsan, Faras dan Mareta membuat tokoh menjadi lebih hidup dengan karakter yang kuat. Tema tentang kearifan lokal yang kental akan budaya membuat novel ini kaya dan layak dijadikan sumber referensi. Karena setting yang ditampilkan bukan sekadar tempelan, tapi jelas ada dan merupakan pengalaman pribadi pengarangnya yang seorang backpacker.

Membaca novel ini, kita serasa dibawa berpetualang mengikuti perjalanan tokoh-tokohnya mulai dari Magelang, Makassar, Tanjung Bira, Bulukumba, Surabaya, Malang sampai kembali ke Ranu Pane. Sungguh, sebuah kreativitas dalam menghadirkan setting yang patut diacungi jempol. Di novel ini pula, sepertinya pengarang ingin mengkritisi tentang adat yang kadang lebih kejam daripada hukuman yang diberikan Tuhan lewat tokoh Fikri, pendaki gunung asal Makassar yang menjadi sahabat Ikhsan dan Faras.

Yang membuat berdecak kagum, pengarang mengupas adat dan budaya suku Bugis yang terkenal dengan Kapal Pinisinya itu. Sebuah filosofi yang bersandar pada nilai tradisional yang dianggap baik, bertahan lama dan tertanam kuat di benak masyarakat, sudah selayaknya dipertahankan.

Nilai adat tersebut bisa menjadi universal dan menunjukkan identitas bangsa yang majemuk. Bahwa Pinisi, bukan hanya sebuah karya dan pekerjaan. Ia adalah adat, warisan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu.

Setiap kali Pinisi akan dibuat, selalu ada upacara yang mengawalinya, yaitu upacara peletakan lunas (pondasi perahu) dan pemotongan bagian ujung dan pangkal lunas. Potongan pangkal lunas akan dibuang ke laut, sebagai simbol agar perahu bisa menyatu dengan ombak di lautan atau pelambang seorang suami yang siap melaut mencari nafkah. Sementara, potongan ujung lunas dibuang ke daratan, sebagai simbol pengikat untuk kembali lagi ke daratan sejauh apapun sang pelaut pergi, atau pelambang seorang istri yang menunggu suami pulang melaut mencari rezeki.

Dan tentu saja, pengalaman mendaki Mahameru menghadirkan sensasi tersendiri. Tracking yang berat melewati tanjakan, padang pasir dan savana sepertinya terbayar lunas ketika tangan berhasil menyentuh dinginnya air di Danau Ranu Kumbolo. Saat kaki sudah menjejak puncak, menikmati sunrise yang muncul di tengah-tengah lembah antara dua bukit yang mengitari Ranu Kumbolo. Menikmati pemandangan di bawah yang jauh lebih kecil, garis pantai yang terlihat samar, lautan awan yang berarak indah dan kawah Jonggring Saloka yang menyemburkan abu vulkanik tiap dua puluh menit. Semua itu mengingatkan betapa kecilnya kita di hadapan-Nya.

Saya hampir tidak menemukan celah untuk mengkritisi novel pemenang kedua Lomba Novel Republika 2012 ini secara konten. Tapi, tak ada karya yang tak retak, secara teknis masih ada beberapa kesalahan. Seperti di halaman 27 paragraf ketiga baris pertama, halaman 83 paragraf ketiga baris pertama dan halaman 358 paragraf kesembilan baris kedua yang tidak diberi spasi antar huruf. Serta, di halaman 323, jarak antar paragrafnya terlalu renggang.

Kekuatan lain di novel ini, tetap menghadirkan sisi religi penggugah jiwa yang bisa dijadikan pelajaran bersama. Tahta Mahameru, puncak tertinggi pulau Jawa, hanya satu bagian kecil dari seluruh ciptaan-Nya di angkasa raya. Di atas semua itu, masih ada puncak tertinggi, yaitu tempat tertinggi antara surga dan neraka.

Tahta Mahameru.. Sebuah Mahakarya! Salah satu literasi bermutu yang layak untuk dikoleksi.

Penulis: Santi Artanti
Facebook: http//www.facebook.com/dreamyhollic
Twitter: http//www.twitter.com/SantiArtanti
Email: dreamyhollic@gmail.com

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/senggang/review-senggang/12/06/02/m4zbtr-mahameru-menyusur-jejak-sahabat

DATA BUKU:
Judul: Tahta Mahameru
Pengarang: Azzura Dayana
Penerbit: Republika
ISBN: 9786027595002
Tebal: viii + 380 Halaman; 13,5 x 20,5 cm
{[['']]}

Mengkaji Islam Indonesia dari Berbagai Sisi

Inilah buku tentang kajian Islam Indonesia dengan penghampiran dari berbagai sisi: sejarah, sosial, politik, psikologis dan budaya. Buku ini mendiskusikan tema-tema keislaman Indonesia dalam ragam persoalan dan perspektifnya. Pembahasan buku ini bersifat tematis, di dalamnya menampilkan gagasan-gagasan orisinal dan analisis kritis atas persoalan-persoalan psikososial dalam sejarah dan sosiologi Indonesia seperti tentang Islamisasi, peranan ulama dalam sejarah, kelas menengah Muslim, sekularisasi, pluralisme, terorisme, Islam liberal, pornografi dan lain-lain. Diharapkan buku ini mewakili pandangan yang tidak ditemukan dalam samudera diskursus Islam Indonesia.

Buku ini berisi tentang sejarah sosial budaya Islam Indonesia dalam bentang waktunya yang panjang sejak masuknya, masa Islamisasi hingga masa kontemporer. Sangat berguna bagi para peminat studi-studi Islam dan para mahasiswa sejarah, sosiologi dan politik yang menjadikan Islam sebagai tema kajiannya. Buku ini bukan buku sejarah kronologis melainkan bacaan kritis atas sejarah, sosiologi dan masalah-masalah aktual Islam di Indonesia. Buku ini adalah sebuah perspektif dalam membaca Islam Indonesia yang dewasa ini semakin menarik perhatian dunia.

Gambaran tentang Islam Indonesia, dalam banyak hal, didominasi oleh pandangan arus utama yang diproduksi kaum intelektual dan diterima sebagai “konvensi kebenaran.” Idealnya, melalui buku ini penulis ingin melihat celah-celah yang tidak terwakili (subaltern) sebagai pemberontakan gagasan untuk menemukan alternatif pandangan dari pemikiran konvensional yang diterima luas. Yudi Latif yang memberikan pengantar menambah nilai buku ini dan menjelaskan posisi penulis buku dalam pertarungan wacana. Mudah-mudahan memberikan pencerahan, menegaskan jatidiri dan memuaskan dahaga para pencinta bacaan kritis. (http://www.republika.co.id/berita/senggang/review-senggang/12/06/06/m56k1s-mengkaji-islam-indonesia-dari-berbagai-sisi)

ISI BUKU

BAGIAN I
SEJARAH, POLITIK DAN ISLAMISASI
1. Antara “Masuk” dan “Pengaruh”: Menuntaskan Polemik Teoritis Masuknya Islam ke Indonesia
2. Kearifan dalam Problematika Historiografi Tradisional
3. Ulama Nusantara: Mencipta Sejarah, Mencipta Indonesia
4. Islam dan Politik Masa Orde Baru: Represi, Marjinalitas dan Perubahan
5. Islamisasi Kelas Menengah dalam Politik Indonesia

BAGIAN II
SOSIOLOGI ISLAM INDONESIA
1. Masjid Kampus, Busana Muslimah dan Kebangkitan Islam Indonesia
2. Gagalnya Sekularisasi dan Kebangkitan Agama: Kasus Indonesia
3. Transformasi Pendidikan dan Mobilitas Vertikal Kaum Santri
4. Sosiologi Kelas Menengah Muslim Indonesia
5. Agama, Eforia dan Konflik Kepentingan: Kasus Formalisasi Syari’at Islam di Garut
6. Potret Komposisi Etnis dan Agama di Indonesia

BAGIAN III
WACANA PEMIKIRAN ISLAM
1. Penerbitan Islam Modern: Wacana Kelas Menengah Muslim Indonesia
2. Tipologi Baru Aliran Pemikiran Islam Indonesia: Sebuah Kajian Awal
3. Islam Liberal: Ironi dan Kegetiran
4. Pluralisme dan Agama: Mendudukkan Pluralisme yang Benar dalam Islam
5. Romantisme Khilafah dan Problem Kontemporer
6. “Terorisme Islam” dan Kutukan: Sebuah Objektifikasi dan Otokritik

BAGIAN IV
PERSPEKTIF PSIKO-SOSIAL ISLAM INDONESIA
1. Transformasi Identitas dan Konversi Agama: Aspek-aspek Psiko-sosial Islamisasi di Nusantara Abad ke-15-17
2. Konsolidasi Tradisionalisme dan Gagalnya Modernisme Islam: Sebuah Peta Sosio-Psikologis
3. Sosiologi Emosi Islam Indonesia: Realitas Psikologis Umat yang Tak Terbaca

BAGIAN V
ISLAM, BUDAYA DAN PROBLEM MODERNITAS
1. Seni, Estetika dan Spiritualitas: “Thariqah” Seniman Merengkuh Tuhan
2. Kasidah Bimbo: Ekspresi Religius Santri Kelas Menengah
3. Dangdut Erotis di Televisi: Hasrat Hedonis dan Freudianitas Masyarakat Kita
4. Pergeseran Busana Muslimah: Tradisi, Ideologi, Desakralisasi
5. Undang-undang Pornografi: Cermin dari Negara Sekuler
6. Perempuan Murah, Perempuan Mahal: Filosofi Menutup Aurat dalam Islam
7. Korupsi: Kelemahan Jiwa Plus Kesempatan

BAGIAN VI
SUPLEMEN: KAJIAN ISLAM GLOBAL
1. Islamic Studies: Problem dan Prospek
2. Blessing in Disguise: Kontribusi Orientalisme terhadap Studi Islam
3. Krisis Modernitas dan Keniscayaan Rekonstruksi Sains Islam
4. Islam di Amerika: Sebuah Keajaiban Bernama 9/11

KEPUSTAKAAN

------------

DATA BUKU:
Judul: Sejarah Sosial Intelektual Islam Indonesia
Penulis: Moeflich Hasbullah
Penerbit Pustaka Setia, April 2012, 392 hal.
Pengantar: Dr. Yudi Latif
{[['']]}
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Pusat Resensi Buku - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger